Kategori
Web Accessibility

Menulis Weblog Cara Jujur dan Sehat dengan Aksesibilitas Web

Diperbarui 24 April 2010 oleh Dani Iswara

Entah apa jadinya jika aksesibilitas konten Web dibuat untuk mengecoh pengguna. Mengabaikan kejujuran dan membuat iklim di Web menjadi cenderung tidak sehat. Merugikan pengguna. Nilai kemanusiaan yang tergerus semata demi uang dan popularitas?

Memudahkan atau mengecoh pengguna?

Yang dianggap atau disebut konsultan, pakar, guru menulis, atau suhu SEO mungkin masih dan selalu menganjurkan atau mencontohkan anda untuk:

  1. mencetak tebal banyak teks spesial atau kata kunci di satu halaman Web.
  2. mencetak miring banyak teks spesial atau kata kunci di satu halaman.
  3. menggarisbawahi banyak teks spesial atau kata kunci yang tidak bisa diklik di satu halaman.
  4. memberi warna teks yang berbeda untuk tiap kata spesial.
  5. memberi ukuran dan bentuk huruf berbeda untuk teks spesial dan teks yang seharusnya berupa subjudul dan anak subjudul.
  6. memberi pranala atau tautan ke URL atau alamat Web yang sama, berulang beberapa kali di satu halaman Web yang sama.
  7. memberi pranala beberapa kali ke halaman yang sedang dibaca atau dibuka ('self-linking').
  8. menyembunyikan URL tujuan.
  9. membuat konten otomatis dari pasokan/umpanan blog orang lain tanpa etika.

Entah jika itu memang bisa mengecoh algoritma mesin telusur atau pencari Internet seperti Google. Atau jika memang ada maksud lainnya, silakan tanya beliau-beliau yang mengajari dan mencontohkan tersebut.

Beberapa hal di atas mungkin menandakan bedanya 'usability' atau kebergunaan dengan aksesibilitas Web (Dani Iswara .com).

Google menjadi Tuhan baru? Jika Google terkecoh, bukannya itu juga mengecoh manusia penggunanya?
Sebaliknya, walau tidak mengakalinya, yakin tulisan kita tidak akan mengecoh pengguna?

Target pengguna

Tanpa aksesibilitas Web, tiap desain mungkin dimaksudkan bersegmen. Hanya menyasar target pengguna tertentu. Mengabaikan yang lain? Kan hampir tidak mungkin memuaskan semua pihak?

Situs Web khusus tunarungu

Situs tunarungu yang berbasis gambar mungkin hanya mudah diakses oleh sesama tunarungu. Atau mereka yang fungsi penglihatannya normal. Tapi penyandang tunanetra akan kesulitan mengaksesnya. Lain halnya jika situs ditujukan untuk penyandang disleksia, hampir semua pengguna akan mudah mengaksesnya. Karena sangat banyak konsep kebergunaan dan aksesibilitas Web terpakai di sana.

Situs jejaring media sosial

Tanpa fitur khusus, mungkin banyak situs jejaring media sosial hanya mudah diakses oleh pengguna yang mewah 'bandwidth'-nya. Atau hanya bisa diakses oleh pengguna yang lengkap kondisi dan fungsi panca indera, alat gerak, dan mentalnya.

Bolehkah pengguna yang merasa hak azasinya (akses memperoleh informasi) dibatasi lalu menuntut secara hukum?

Konten asli tapi jiplakan

Adakah konten yang benar-benar asli? Orisinil? Bukan sekadar jiplakan atau terjemahan? Selain memang berupa kisah pribadi.
Apakah saya yang menemukan dan membuat definisi istilah itu? Apakah saya yang menemukan dan membuat kode di tutorial itu? Dari mana saya menyalin deretan kode itu? Pasti ada manusia yang membuatnya, kan? Walau di beberapa kondisi, kadang tidak mudah menemukan sumber aslinya.

Semua karya itu pemberian-Nya, sehingga boleh dibajak?

Pengakuan jujur salin tempel

Bukankah jujur bisa menjadi bagian dari kredibilitas? Persilakan pengguna melakukan konfirmasi atas konten tulisan kita. Siapa tahu ada kesalahan yang kita sampaikan. Membiarkan 'copy paste' tanpa etika (Dani Iswara .com) hanya akan mengundang korban baru berjatuhan.

Mengapa pranala atau tautan sumber hanya disajikan 'inline'? Kenapa tidak dibuat sebagai clickable reference (Dani Iswara .com) saja?

Mungkin ada cara lain yang lebih jujur dan sehat dalam menyajikan konten di Web?

8 tanggapan untuk “Menulis Weblog Cara Jujur dan Sehat dengan Aksesibilitas Web”

Wah, kayaknya nyindir yang suka posting tutorial coding nih. Untungnya saya baru 2 kali menulis tutorial tersebut. Dan jujur saya akui, kedua tips coding yang pernah saya tulis tersebut murni berdasarkan temuan dan pengetahuan saya. Buktinya belum ada yang menulis tutorial itu sebelum saya :)

Soal keengganan mengakui jika berasal dari sumber lain, mungkin takut akan menjatuhkan nilai otoritasnya di mata pengunjung. Tapi apalah arti otoritas semu ya Bli. Saya pribadi malah akan respek pada narablog yang mau secara jujur mengakui bahwa tutorial yang ditulisnya bukan murni dari dirinya.

Cahya,
setelah tanya Cahya, ternyata setelan itu ada di feedburner. Thanks.

iskandaria,
merasa tertindas sih ngga. Justru merdeka, tidak Google dependant. Saya pribadi juga pernah menulis tutorial XHTML dan Linux tanpa jelas menyebut sumber karena ketidaksadaran saya.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.