Diperbarui 19 November 2012 oleh Dani Iswara
Hak cipta melekat saat suatu karya dihasilkan. Tulisan tidak penting ini akan fokus pada dokumen Weblog. Tiap dokumen di Web yang dipublikasikan, dapat dikonsumsi penggunanya. Tapi, tidak semua hasil karya tersebut diizinkan untuk disalin tempel atau copy paste dengan bebas dan seenaknya.
Di blog Dani Iswara .Net, pernah tercatat bahwa Salin Tempel Bisa Menyebalkan juga. Seakan-akan konten memang karyanya sendiri. Tidak mau rugi sehingga tidak mencantumkan sumber tulisan? Mungkin karena memang tidak paham etikanya. Etika yang mana? Etika kejujuran dan menghargai karya sudah lebih dari cukup kan? Atau menganut ‘agama’ SEO yang berlebihan? Takut PageRank bocor?
Di media cetak, wajar jika sumber berupa ‘inline link’ seperti http://example.com/post-title.xhtml
ditulis apa adanya. Tapi, untuk media daring/’online’, bukankah pranala yang mudah diklik atau ‘clickable’ akan lebih berguna/’usable’? Terserah jika nantinya menyisipkan rel='nofollow'
atau tidak.
Hasil salin rekat digunakan untuk kepentingan komersial? Pertanyaan itu sempat tercatat di Dani Iswara .Net, tentang lisensi konten blog komersial. Suatu konten berlisensi non-komersil disalin tempel, lalu dipasang di blog yang menampilkan iklan. Padahal lisensinya menganjurkan untuk dipasang sesuai lisensi awal. Bolehkah? Jika memang diizinkan oleh pembuat konten awal, tentu tidak masalah.
Haruskah selalu meminta izin sebelum mengopi pasta suatu konten? Di mana sebaiknya lisensi suatu dokumen Web tercantum? Bagaimana penulisan lisensinya? Saya menemukan seluruh jawaban pertanyaan tersebut di tulisan Bung Ajo, seorang pengacara dan juga narablog/’lawblogger’.
Berikut ini beberapa kutipan tulisan oleh Bung Ari Juliano Gema di blog Lintasan DagDigDug (saya kutip tanpa izin; tetapi lisensi yang tercantum di area catatan kaki/’footer’-nya telah mengizinkan):
…
Dalam sistem HKI Indonesia, sebenarnya juga tidak ada kewajiban bagi pembuat karya cipta untuk mencantumkan copyright notice. Namun, pencantuman copyright notice tentu akan memudahkan bagi pemilik hak cipta untuk menyatakan haknya kepada publik, dan memudahkan publik mengetahui siapa pemilik hak cipta dan sejak kapan karya cipta tersebut dipublikasikan.
…
Sumber: Tahun hak cipta, apa perlunya dan bagaimana jangka waktunya.
Tentang situs pengumpul konten atau agregator yang bernuansa komersil:
…
Namun, para pengkritiknya mengatakan bahwa The Huffington Post tidak mengarahkan tautan tulisan atau berita itu langsung ke situs atau blog sumber, tapi melewati dulu fitur “Quick Read” yang menampilkan bagian awal tulisan atau berita dari situs atau blog sumber secara utuh. Dengan hanya sekedar mengutip bagian awal tulisan itu, tanpa ada upaya membuat ringkasan, Huffington Post dianggap telah melanggar hak cipta. Selain itu, The Huffington Post juga dianggap mencari keuntungan dengan memasang iklan pada situs agregatornya. Hal inilah yang membuat sebagian kalangan menganggap situs agregator sebagai pencuri.
…
Sumber: Apakah agregator itu pencuri?
Tentang etika meminta izin sebelum salin tempel:
…
…dengan asumsi pemilik blog adalah pencipta dari konten yang ada di blognya, dengan atau tanpa adanya disclaimer sebagaimana disebut di atas, pada prinsipnya, siapapun yang ingin mengambil suatu konten dari blog seseorang harus meminta izin terlebih dahulu dari pemilik blog tersebut. Pengambilan konten tanpa seizin pemilik blog dapat dianggap sebagai pelanggaran hak cipta. Pemilik blog punya hak untuk melaporkan dugaan pelanggaran hak cipta tersebut kepada pihak kepolisian atau mengajukan gugatan/tuntutan ganti rugi kepada pihak yang mengambil konten tanpa izin tersebut.
…
Sumber: Ketika posting diangkut ke majalah.
Jadi, sudahkah rekan-rekan narablog mencantumkan lisensi dan penyangkalan/’disclaimer’ di blog masing-masing? Sudahkah memuat informasi kontak yang jelas? Tertarik memakai ‘Copyleft’?
Copyleft is a play on the word copyright to describe the practice of using copyright law to offer the right to distribute copies and modified versions of a work and requiring that the same rights be preserved in modified versions of the work.
…
Sumber: Copyleft – Wikipedia.
Membiarkan sesuatu yang ‘salah’? Membiarkan jatuh korban lain lagi? Untuk pembelajaran, kita boleh saling mengingatkan, bukan?
Ditambahkan 8 April 2010: selain etika menghargai lisensi saat salin tempel, serupa juga halnya ketika menyadur–menyusun atau mengolah kembali cerita secara bebas tanpa merusak garis besar cerita, biasanya dari bahasa lain. Terjemahan tapi tidak mencantumkan sumber?
17 tanggapan untuk “Membiarkan Salin Tempel tanpa Etika?”
Hmm…, lisensi blog ini ga sama ya dengan yang lama. Saya penganut strict copyright (siap-siap sewa pengacara ah…).
Saking banyaknya kasus seperti itu, malah sudah bosan jadinya nonton. Kaya panggung politik negeri ini saja, makin lama makin tidak jelas. Kalau cari artikel tentang ini, ada lebih dari 3 juta konten di Google (wealah, Bli Dani malah nambah-nambahin saja, he he).
Capek lagi nyariin orang yang sengaja menyalin tempel tempel tulisan kita, seperti mencari jarum di tumpukan jerami di atas kolam lumpur, yang belum tentu jarumnya hanya mitos :D
Yang penting sudah pasang tanda dilarang masuk, kalau tetap menerobos dan ketahuan – sebenarnya sih masih cuek – tapi kelanjutannya bisa ketemu di meja hijau. Aih…, jadi kelebihan keterlaluan sepertinya.
Btw, ada teks berbayang yang bikin tidak enak dipandang tuh…, rasanya saya perlu ambil kacamata kalau lihat bagian header-nya, xi xi xi… :lol:
Cahya,
makna lisensinya sebenarnya sama aja.
Wah, tulisan ini nambah sampah dong. Maaf. Kalau ada pendapat lain yang lebih baik, akan saya tambahkan.
Sepertinya tidak perlu sengaja dicari-cari. Kecuali berkepentingan dengan konten miliknya yang komersil. Hanya saja, jika terjadi, kita tahu pandangan hukum seperti apa.
Ya, yang penting sudah ada pemberitahuan tentang lisensi yang dipakai pengelola. Sebelum masalah datang.
Untuk teks berbayang, memang kesannya malah mengganggu. Lha, situ malah make teks berbayang putih untuk semua paragraf konten utama? :p
Orang masih sering bingung bedanya hak cipta, lisensi, dan paten. Mungkin Bli Dani bisa memberi penjelasan (bingung nih).
Masa saya pakai teks berbayang, nggak ah… (begini kalau mata sudah minus dengan aksis ga tegak atau pun mendatar.. :D )
Cahya,
kalo dari Wikipedia, Hak Cipta itu berarti hak untuk menyalin suatu karya. Hak cipta bagian dari hak kekayaan intelektual. Tapi, bukan hak monopoli seperti paten. Hak cipta dan paten bisa membatasi orang lain untuk menggandakan atau memanfaatkan suatu karyanya. Pemilik hak cipta dan paten bisa mengizinkan pihak lain melakukan hak eksklusifnya atau mengalihtangankan hak cipta dan paten sesuai perjanjian dan/atau undang-undang, yang disebut dengan lisensi.
Situ text-shadow-nya malah lebih banyak. :P
Kalo di dunia akademik, etika pengutipan dilakukan dengan menyebutkan sumber kutipan yang mencakup: judul buku; penulis; penerbit; tahun penerbitan; halaman; serta edisi buku (kalo ada). Ini artinya (dalam dunia akademik), siapapun bisa (entah itu calon sarjana, master, atau doktor) secara bebas melakukan pengutipan selama memenuhi syarat-syarat di atas dan tanpa mengubah sumber asli. Pengutipan ini bahkan dianggap keharusan sebagai bentuk penghargaan atas temuan-temuan para pendahulunya dalam ruang lingkup disiplin tertentu, serta untuk menghindari repetisi yang sia-sia. (Makanya jangan heran kalo sebuah tesis, apalagi desertasi, selalu dihiasi dengan puluhan bahkan ratusan sumber pada daftar pustaka-nya).
Kalo di dunia online sendiri pengutipan semacam ini diperbolehkan gak? Misalnya begini, saya membuat tulisan bertema A di blog. Untuk tujuan pengayaan dan informasi tambahan, di tengah-tengah tulisan saya kemudian mengutip satu atau dua paragraf dari tulisan blogger lain yang kebetulan secara tematis bersinggungan dan tentu saja menyertakan tautan aktif ke sumber tersebut. Apakah itu bisa dikategorikan sebagai pembajakan hak cipta? Sedangkan pada blog yang saya kutip sebagian tulisannya tersebut sudah ada copyright statement berupa pelarangan menyalin dan menyebarluaskan tulisan tersebut tanpa seizin penulisnya.
Kalo ada copyleft, mungkin ada juga ya copytop (indocafe maksudnya hehehe)
Anis Fahrunisa,
di tulisan Bung Ajo yang tentang posting blog diangkut ke majalah, silakan telusuri tautan eksternalnya di atas, sudah disebutkan bahwa salin tempel untuk kondisi di bawah ini biasanya tidak bisa disebut pelanggaran hak cipta, misalnya (saya ringkas–tanpa izin):
a. untuk kepentingan pendidikan, penelitian, karya ilmiah, dan seterusnya…,
b. guna keperluan pembelaan di pengadilan,
c. ceramah,
d. pertunjukan atau pementasan non-komersil,
e. untuk keperluan para tunanetra, kecuali komersial,
f. perbanyakan terbatas oleh perpustakaan umum, lembaga ilmu pengetahuan atau pendidikan, dan seterusnya…non-komersial,
g. pertimbangan pelaksanaan teknis atas karya arsitektur,
h. pembuatan salinan cadangan suatu program komputer untuk sendiri.
Bli Dani,
Saya pernah baca di Daniiswara.net ( kalau nggak salah ), sebaiknya sumber artikel diberikan pranala/tautan aktif. Dalam pemahaman saya, bisa saja saya mengambil sebagian dari artikel tersebut untuk melengkapi tulisan saya sepanjang pranala/tautan tersebut aktif. Saya katakan pranala/tautan aktif, karena sering juga menemukan artikel dengan menyebutkan sumbernya tetapi tautan tidak aktif ( tidak bisa diklik ).
Apakah dengan cara ini bisa dikatakan cukup ?
Pak Aldy,
menurut saya, jika melihat dari sisi hak cipta, sepertinya cukup. Tapi dari sisi aksesibilitas Web, agak menyakitkan bagi telinga mendengar inline link. Lebih enak mendengar anchor text-nya kan, pak? :)
:lol: kan suaranya nggak dinyaringkan Bli,
memang sih enakan menggunakan anchor text dari pada inline link.
Memang setiap orang memiliki sudut pandang yang berbeda, cuma menurut saya, apa sih susahnya mengakui jika artikel yang kita tulis memang bukan murni buah fikiran kita ? Dan dengan adanya pranala/tautan aktif ke sumber artikel justru lebih memperkaya artikel itu sendiri.
Pak Aldy,
jika memakai anchor text, saat screen reader ‘mengucapkan’ “link [anchor text di sini]”, tentu lebih nyaman dibanding
http colon slash slash example dot com slash post dash title dot xhtml
. Bayangkan juga mendengar halaman Web seperti mendengar radio dengan kondisi inline link.Tiap desain pasti ada alasannya, kan? :)
Ach…benar juga bli, seperti mendengarkan radio yang terkena storing ;)
Desain dengan alasan ?
Saya kira iya, dengan pertimbangan-pertimbangan tertentu.
Ternyata nggak mudah menjadi web design, banyak sisi yang harus dipantau agar mampu mengakomodir beberapa kalangan.
Pak Aldy,
tapi yang saya catat di sini hanya sesuatu yang tidak penting lho. Jangan terbebani, karena Tiap Desain Web Ada Alasannya (Jabarview.com). :)
Nah, saya rasa wacana di atas lebih menekankan pada pentingnya membuat semacam peringatan/petunjuk tentang bagaimana jika ingin menyalin-tempel artikel/konten pada suatu blog/web. Ini juga bagian dari edukasi bukan?
Sepertinya tidak lagi harus lagi dengan cara ‘ngamuk-ngamuk’ jika artikelnya disalin-tempel tanpa izin. Lain soal kalau kita sudah berusaha mencegahnya dengan mencantumkan lisensi/penyangkalan, misalnya pada bagian bawah posting.
Kalaupun dengan cara tersebut masih ada yang ‘nakal’, mau apa lagi :(
Oya, untuk mengutip penggalan artikel di dalam posting, memang sebaiknya menggunakan anchor text berupa judul asli sumbernya. Selain terkesan lebih etis dan aksesible (duh, jadi ngikut bahasa Bli Dani), penggunaan anchor-text berupa judul asli sumber juga bisa membantu optimasi alias SEO artikel asli tersebut di mesin pencari :)
iskandaria,
tentang pencantuman penyangkalan itu, lebih baik mencegah daripada jadi kasus kemudian kan?
Setidaknya pemilik karya sudah berusaha memberi lisensi yang sesuai dengan kehendaknya.
Terkait teks anchor, mungkin justru alasan SEO itu juga bisa jadi alasan beberapa oknum tidak rela berbagi kredit sesuai etika. :)
Aku tersentil lagi :(
[…] Menyalin tempel tanpa etika saja mungkin sudah tidak pas, apalagi hingga “melangkahi” lisensi yang sudah ditetapkan oleh si empunya blog. Jadi tidak jarang kadang kita menemukan sedikit clash antara narablog dan si pengutip yang memasukkan kutipan dari blognya tanpa izin ke media komersial tertentu (buku, majalah, dan sebagainya), meskipun kutipan itu telah memberikan rujukan. […]
[…] pernah menyatakan tidak setuju membiarkan salin tempel tanpa etika. Membiarkan korban-korban baru […]