Diperbarui 24 Maret 2020 oleh Dani Iswara
Sakit memang, saat memutuskan untuk pindah ke lain hati. Apalagi sudah lama mengenalnya. Dalam suka dan duka.
Berpindah-pindah distribusi/distro GNU/Linux tentu bukan tanpa alasan. Menjadi distrohoppers seperti saya, ada 5 alasan utamanya:
- Distronya sudah mati. Pengembangannya terhenti. Ini sering terjadi pada distro yang hanya dikelola oleh beberapa orang tanpa didukung komitmen pengelola/organisasi lainnya. Tidak ada yang melanjutkan estafet pengembangan. Situs resmi proyek distro tidak ada kabar pembaruan. Kadang situsnya juga mati. Baiknya ganti ke distro yang masih aktif. Di sisi lain ada distro yang sedang tidak aktif atau belum aktif kembali. Di distrowatch.com, istilahnya dorman/dormant. Distro dimaksud belum ada perkembangan rencana rilis versi stabil terbaru dalam waktu lebih dari 2 tahun. Yang ini masih layak ditunggu.
- Tidak mendukung hardware saat ini. Bisa terjadi saat ganti laptop, PC baru, atau upgrade kartu grafis. Ada peranti keras yang tidak/belum terdeteksi otomatis. Bagi pengguna Linux veteran, ini mungkin hal biasa di dunia free dan open source. Menjadi mengesalkan ketika driver Wi-Fi dan kabel LAN di laptop tidak/belum langsung dikenali. Harus troubleshooting via alat lain (kalau ada) yang terkoneksi ke Internet. Sebaliknya, distro dan pengembang aplikasi memutuskan hanya mendukung komputer 64-bit yang lebih kekinian. Mesin kita masih 32-bit dengan RAM pas-pasan. Solusinya ya ganti distro yang sesuai.
- Karakter pengguna. Subjektif. Bukan salah distronya. Distronya tidak mungkin memuaskan bagi semua orang. Dasar memang penggunanya yang tidak pernah puas. Bosan dengan tampilan yang monoton, software jadul, kurang gegas, lambat upgrade, forum sepi, memori terkenang distro sebelumnya (baper), instal aplikasi terlalu sulit, atau kemampuan pengguna sudah mentok. Saatnya distro jumping.
- Memang ada beda di suatu distro. Distro Linux sederhananya memang kernel Linux plus aplikasi GNU, pustaka pendukung, dan lingkungan desktop. Bisa sih, satu distro, apa pun itu, dengan kemampuan awam kasual, kita setel supaya nyaris memenuhi semua keinginan spesifik penggunanya. Desktop Linux standar dipasangi aplikasi edukasi, desain grafis, multimedia, server, pendukung profesi developer komputer, analisis forensik jaringan, bioinformatika, dan astronomi. Tetapi model pemutakhirannya (rilis tetap, bergulir), pengelolaan paket aplikasinya (via GUI, mode teks), dan item-item di #3 di atas, memang beda aliran. Kalau ada distro baru dengan konsep yang lebih menarik, kenapa tidak? Jangan takut poligami distro!
- Tuntutan pekerjaan. Lingkungan kerja kadang mengharuskan kita menyesuaikan. Narablog lepas masih bebas merdeka mau pakai distro mana pun. Malah mesti ganti-ganti distro untuk bahan review. Tetapi beda dengan, misalnya, karyawan TI fanatik Fedora yang baru pindah kantor. Tugasnya menggawangi peladen dengan distro khusus untuk server. Di sisi lain klien di kantornya terpasang Ubuntu versi desktop. Karena harus tanggung jawab di sistem dukungan pengguna/klien, jadilah pindah distro. Setidaknya multiboot.
Pindah distro Linux bukan aib…Kadang sudah ada Windows pun, tetap pakai Linux (Dani Iswara .com).