Diperbarui 29 November 2017 oleh Dani Iswara
Etika dunia nyata juga berlaku di dunia maya khususnya media sosial (medsos). Layanan seperti Facebook, Twitter, Instagram, Youtube, WordPress, Blogspot punya aturannya masing-masing. Tetapi aturan dan norma umum sehari-hari juga berlaku.
Punya akun sendiri. Kebanggaan tersendiri mempunyai nama akun medsos yang unik. Atau pilih pakai nama sendiri untuk akun pribadi. Daripada keduluan orang lain yang mengklaim. Sekalian ‘branding’ nama riil.
Akun bisnis? Sesuaikan dengan produk yang dijual. Pilih nama yang medukung pemasaran.
Kerahasiaan. Memilih anonim di internet? Bisa saja. Tergantung kebutuhannya. Asal bukan untuk kejahatan. Toh tetap akan bisa terlacak oleh polisi siber. Kecuali niatnya memang jadi peretas anonim.
Identitas nyata seperti nama asli, tanggal lahir, kata sandi (‘password’), alamat, nomor rekening, berat badan, riwayat sakit mungkin tidak lagi seangker dulu. Data dan informasi di media sosial justru terkesan makin terbuka. Netizennya sendiri yang secara sadar atau tidak mengunggah informasi tersebut.
Data diri saat mendaftar medsos diisi yang sebenarnya. Plus tanggal lahir. Supaya kado datang dengan sendirinya? Kadang kata sandi masih ada unsur data kelahiran. Mestinya bisa ditolak ‘by system’. Nomor rekening terpajang di akun jual beli. Foto-foto wisata bisa jadi pertanda rumah kosong. Riwayat sakit termuat kisahnya di blog pribadi. Jejak profil di medsos bisa jadi bahan penolakan saat melamar kerja.
Nomor ponsel pribadi, titik koordinat lokasi geografis dan profil ‘browsing’ kita sudah tersebar di antara jejaring para pemasar. Iklan berdatangan dari segala penjuru. Spam merajalela. Masihkah ada rahasia?
Etika bermedsos. Perlakukan orang lain seperti kita ingin diperlakukan. Norma agama, perilaku, etika sosial dunia nyata juga berlaku di medsos. Tidak mempermasalahkan suku, agama, ras dan antargolongan (SARA).
Memuat status, memajang foto, mengunggah video, menyajikan rekaman suara, komentar, ‘posting’, diskusi di grup WhatsApp, ‘chat’, mengunduh aplikasi, beli ‘online’, bermain daring, pikirkan dulu sebelum ‘submit’.
Ada risikonya. Saat kita terkoneksi dan terhubung dengan pengguna lain, ada konsekuensi di sana. Secepat jari bergerak, otak harus tetap tenang.
Kenali dulu profil pengguna, penjual, perusahaan. Cek kembali kalimat yang kita tulis. Sunting foto jika melanggar privasi pihak lain. Hindari menyajikan konten yang berpeluang memprovokasi hal-hal negatif. Waspadai iklan dan program aplikasi yang menyaru sebagai ‘malware’ dan virus. Teliti tautan atau ‘link’ tujuan mengarah ke mana.
Sekali buka aurat dan telanjang di internet, belum tentu bisa dihapus. Apalagi jika sudah tersebar ke mana-mana. Ke suami atau istri sekalipun. Terutama jika nanti jadi eks suami atau eks istri. Yang sering terjadi ponsel hilang data pribadi terbongkar.
Jangan terkecoh indahnya kisah orang lain. Rumput tetangga biasanya tampak lebih hijau. Karena terlihatnya dari jauh. Luarnya saja. Foto-fotonya saja yang terlihat lebih bahagia dari kita. Yang ditampilkan kan bagus-bagusnya saja. Tidak perlu iri. Dunia medsos juga sangat bisa manipulatif.
Banyak ‘checklist’ untuk meningkatkan literasi digital agar lebih nyaman dan aman bermedia sosial.