Kategori
Unessential Blogging

Literasi digital tangkal hoaks

Diperbarui 28 November 2017 oleh Dani Iswara

Internet makin jamak. Hoaks mengikuti. Bisakah ditangkal dengan literasi digital?

Ponsel, jaringan 4G dan pemanfaatannya kian berkembang. Pengguna berduyun-duyun mengunjungi berbagai media sosial. Cukup dengan jempol. Sudah bisa saling berinteraksi. Ada budaya baru. Masalah menghadang.

Saking cepatnya penyebaran informasi, nalar pengguna kadang sering kalah langkah. Belum jelas kebenaran suatu berita sudah asal klik tombol ‘share’. Foto pribadi yang tidak layak secara susila tetapi tetap saja tersebar di berbagai grup.

Mungkin karena ingin dianggap kekinian, pembaruan status harus segera, terkini, tercepat ‘update’. Ibarat kejar setoran. Di satu sisi berniat berbagi gagasan dan informasi. Tetapi belum cukup dicerna validitasnya. Informasi palsu, bohong dan salah pun menyebar sebagai ‘hoax’ (hoks).

Anak-anak makin mudah terpapar konten negatif dari internet. ‘Bullying’ siber pun jadi ancaman. Kejahatan siber makin populer. Belum lagi radikalisme, penyebaran kebencian, adu domba, pemutarbalikan fakta secara daring. Inikah yang disebut ‘tsunami’ informasi?
“Think first, click later…”

Menurut Gilster (2007) literasi digital mencakup kemampuan membaca, memahami dan menganalisis informasi digital khususnya internet.

Kumpulan kemampuan untuk mengelola arus informasi dan alat digital harus ditingkatkan. Bukan sekadar membangun ‘bendungan’ dengan menutup akses internet.

Konten audio visual seperti video memang makin marak. Tinggal putar video, lihat dan dengarkan, informasi tersampaikan. Lebih praktis dibanding membaca teks di buku atau situs web. Ini bakal jadi salah satu sebab indeks membaca makin rendah?

Ajakan untuk cerdas bermedia sosial, sebarkan konten positif, mengembangkan kurikulum literasi digital sudah tampak makin giat. Ingat dulu sudah ada gerakan internet sehat.

Jarak antara kemajuan teknologi dan kesiapan netizen juga jadi salah satu faktor penting. Bagaimana membangun kecanggihan teknologi sekaligus mendorong kesadaran penggunanya untuk berkreasi yang positif.

Pilihan ada di pengguna. Tingkatkan literasi digital. Sebarkan konten kreatif yang membangun. Tangkal hoaks.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.