Diperbarui 12 Agustus 2010 oleh Dani Iswara
Pemerintah Selandia Baru sepertinya jadi yang pertama menerapkan standar Web berdasarkan 'Web Content Accessibility Guidelines' (WCAG) 2.0.
These new standards were updated in March 2009 and will replace the previous version, the New Zealand Government Web Standards 1.0. Note that in order to ease transition to the new standards, version 1.0 may still be used in web development until 31 October 2009. See Meeting the standards.
Beberapa negara lain umumnya masih mengacu ke WCAG 1.0. Sebutlah Amerika Serikat dengan Section 508, Jerman dengan BITV ('Barrier-Free Information Technology Regulation'), dan Italia dengan Stanca Act. Lalu Indonesia? Kecuali yang terakhir, negara-negara tersebut juga menyatakan sedang menyiapkan peralihan untuk penyesuaian ke standar yang baru.
Diperbarui tanggal 12 Juli 2010: Joe Dolson (joedolson.com) menulis tentang penyesuaian Section 508 yang mulai mengadopsi WCAG 2.0 di Forthcoming Updates on Federal Section 508 Rules.
Negara-negara di atas mengintegrasikan aksesibilitas Web dengan hukum hak asasi mereka. Aksesibilitas untuk semua, bukan untuk membedakan pengguna atau peranti khusus (Dani Iswara .com). Rekomendasi Konsorsium WWW (W3C) tidaklah otomatis menjadi hukum resmi di suatu negara. Walau beberapa negara mengacu pada rekomendasi teknis tersebut.
Kembali ke Selandia Baru. Seperti dinyatakan di 'Required pages or sections and their content', situs pemerintahan dianjurkan menerapkan konten dan desain tertentu. Misalnya situs Web harus mencantumkan halaman kontak dan 'about'. Halaman 'about' setidaknya memuat informasi pemilik situs, pernyataan hak cipta, privasi, detail kontak, penyangkalan/'disclaimer', dan aturan pakai/'terms of use'.
Paragraf ini ditambahkan pada 12 Juli 2010:
New Zealand-specific requirements
These requirements cover technologies and techniques which
- must be used (UTF-8, validation, language codes),
- may be used but not relied on (scripts, applets, etc; non-HTML documents; stylesheets),
- must not be used (framesets, underlining, mark-up redirects, server-side image maps).
Sumber: Overview of The Technical Standards.
Awal Juli 2010 diharapkan semua situs layanan publik, kepolisian, militer, parlemen, dan layanan 'Security Intelligence', sudah menerapkan standar baru ini. Sejak diluncurkan Maret 2009, diberi waktu setahun untuk memenuhi standar Web 2.0 yang baru. Ada tim Departemen Dalam Negeri-nya yang akan melakukan pemeriksaan dan memberi pelatihan.
Paragraf ini ditambahkan pada 12 Juli 2010:
Website assessment
An agency must conduct standards assessments of all the websites for which it has responsibility at least once a year, the results of which must be submitted to Government Technology Services (GTS). The first assessment is not due until 1 October 2010.
Untuk mengetahui situs-situs yang terkait dengan Selandia Baru, kunjungi A-Z Daftar Situs di Selandia Baru. Saya mencoba beberapa diantaranya, memang ada yang lolos tes WAVE dan 'ATRC Accessibility Checker'.
Jika diterapkan di Indonesia, jadi bisnis baru dong! :)
21 tanggapan untuk “Standar Web 2.0 Selandia Baru”
Haha setuju bli Dani.. maksudnya yang diterapkan di Indonesia itu :)
Saya telah melihat bukti dari edukasi klien yang minim oleh desainer yang “kurang professional’ adalah sebuah tablebased website dengan harga jutaan rupiah.
Jika ditanya, perlukah kita mengikuti standar? saya akan menjawabnya perlu! Bukankah kualitas itu bisa diukur ketika kita mengacu standar.
Mungkin bagi pemerintah Indonesia ada baiknya jika mengadopsi standard web internasional semacam W3C. Mengembangkannya untuk menjadi acuan pengembang web dalam negeri. Tugas siapa? sepertinya jelas, itu adalah tugasnya BSN. Kita akan bangga ketika mengacu pada SNI nantinya. ;)
ardianzzz,
mungkin karena tidak ada razia standar Web! Seperti razia helm dan tabung gas SNI itu…hihihi…
Haha, benar juga…
Saya mempelajari standard mutu di bangku kuliah (saat ini penelitian saya tentang SNI sebuah produk pertanian). Saya menyadari manfaat sebuah standar dalam menunjang peningkatan dan penjaminan kualitas suatu produk. Tidak terkecuali produk digital macam website.
kalau standard web ingin diterapkan di Indonesia, bisa dimulai dari website resmi kita Republik Indonesia. 129 error untuk dokumen transitional tidak begitu bagus untuk portal sebuah negara.
ardianzzz,
galat di situs negara itu mungkin karena pengisian kontennya [berpikir positif–belum berkunjung].
Pengisian konten? tidak juga.. hehe saat ini saya sedang menganalisanya :)
tidak ada h1 dan h2.. table-based.. horrible coding dsb :P
ardianzzz,
saya tunggu investigasi situ aja ah. :)
wow…… bgus klo gtu.. jdi jelas dan transparan bntuknya apa……. :D
febriyanto,
bgm kl tdk pk sngktn…
lebih nyaman membacanya bagi pengguna normal, apalagi penyandang disabilitas… (Pengomentar blog mendukung aksesibilitas Web—Dani Iswara.com).
Haha, Indonesia.go.id kurang menantang ya :)
Mungkin depkominfo.go.id yang terlihat “perfect”?
ardianzzzz,
ah siapa saya… :D
Anda? Dani Iswara… :D
He…he…
nggak berani berharap banyak dengan website negeri ini :(
mendingan berharap pada blog-blog pribadi yang perduli saja.
Maksudnya website milik pemerintah Bli :(
contoh standarisasi web 2.0 yang udah diterapkan Selandia Baru ada nggak Bli?
Pak Aldy,
jangan pesimis. Kan tiap pengguna boleh memberi masukan situs layanan publik milik pemerintah. Semuanya bisa berubah. Entah kapan. :)
Rudy Azhar,
saya terkendala koneksi Internet tadi. Tulisan sudah saya perbarui. Daftar situs di A-Z of Government Agencies bisa dicoba. Terima kasih masukannya, Mas Rudy.
Di situs standar Web 2.0 itu juga ada alasan mengapa standar Web (dalam hal ini bukan selalu ke valid XHTML, tapi lebih ke aksesibilitas). :)
Sebenarnya saya tidak pesimis Bli, tapi jika melihat kenyataan yang ada saat ini… uch… capek. Jangan mengikuti standar, lintas browser saja sulit :(
Pak Aldy,
saya pilih standar Web dulu, lintas peramban kemudian. Yang khusus ‘mobile’? Tidak. :)
Pak Aldy,
Menurut saya sih lebih tepat “mengacu standar”.
Memang perkembangan standar tersebut dinilai cukup lamban dibandingkan perkembangan peramban dan teknologi web. Kita dapat mencontoh Facebook, dari sisi usabilitas memiliki nilai lebih meskipun jauh dari standar.
hmm..standard mutu memang perlu sepertinya, tak terkecuali produk digital seperti website. Indonesia mungkin masih jauh dari masalah ini, masih sibuk ngurusin korupsi..hehe
Mr. Kem,
standardisasi Web untuk Indonesia mungkin masih jauh. Tapi setidaknya aksesibilitas publik makin diperhatikan dengan revisi beberapa undang-undang. Web dan Internet juga layanan publik, kan? Mestinya ada hak asasinya juga. :)
Hello Bli-
saya ijin nyimak dulu ya…
oh ya, lansgung saya bookmark neeh blog nya…
semangat ya…