Kategori
Web Accessibility

Legalitas Aksesibilitas Web

Diperbarui 12 April 2010 oleh Dani Iswara

Saat menelusuri blog Mas Anis Fahrunisa, saya menemukan minat serupa di banyak topiknya. Salah satunya tentang Membangun Halaman Web yang Lebih Humanis.

Di kolom komentarnya, saya sempat menjawab tentang Policy Relating to Web Accessibility yang terasa belum tuntas. Sebenarnya ada hak asasi pengguna untuk memperoleh hak akses informasi. Sehingga suatu situs Web yang termasuk sebagai ruang publik pun wajib memenuhi kebutuhan penggunanya.

Hak asasi akses informasi

Penekanan akan kebutuhan aksesibilitas Web umumnya tertuang di suatu kebijakan, hukum, regulasi, standar, panduan, petunjuk, atau dokumen penting lain. Tiap negara biasanya menjamin hak akses tersebut. Beberapa organisasi pemerintahan, pendidikan, dan layanan publik dituntut untuk menyediakan informasi yang mudah diakses. Tanpa diskriminasi. Entah apakah Undang-undang Republik Indonesia (RI) Nomor 14 tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (arsip berupa objek PDF di situs DPR RI) mengatur hak pengguna yang memiliki keterbatasan tertentu.

Pernyataan aksesibilitas Web

Tidak jarang kita temui pernyataan aksesibilitas di suatu halaman situs Web resmi dari organisasi pemerintahan luar negeri. Karena memang ada hukum atau unsur legal yang mengatur dan melindungi hak penggunanya. Salah satu contoh hasil tinjauan aksesibilitas Web bisa ditemukan di salah satu halaman W3C, Template for Accessibility Evaluation Reports.

Risiko legalitas

Jika pengguna menemukan suatu situs resmi organisasi pemerintah, pendidikan, dan layanan publik yang dirasa tidak aksesibel, komunikasikan dengan pengelola situs. Kontak ‘webmaster’-nya. Sampaikan permasalahan akses yang dihadapi. Karena melibatkan hukum, bisa saja terjadi suatu tuntutan yang melibatkan sejumlah nilai uang.

Some organizations have faced legal action for not making their websites or intranets and web-based applications accessible. Not complying with accessibility requirements can result in significant legal costs and have negative impact on the organization’s reputation.
Sumber: Understanding Risks for Non-Compliance (W3C).

Beberapa organisasi disebutkan memutuskan akan membuat situsnya aksesibel dibanding menghadapi risiko masalah legalitas yang harus mereka hadapi.

Contoh terbaru, negara Switzerland mewajibkan situs Web resmi di lingkungan pemerintahannya untuk menerapkan WCAG 2.0 Level AA hingga batas waktu akhir tahun 2010.

On 26 January 2010, the Federal IT Council (FITC) in Switzerland accepted the changes to P028 Version 2.0 with unanimous consent. As a result of these changes, existing federal websites must meet the Web Content Accessibility Guidelines (WCAG) 2.0 Level AA by 31 December 2010. New federal websites must meet this conformance level immediately.
Sumber: WCAG 2.0 in Switzerland.

2 tanggapan untuk “Legalitas Aksesibilitas Web”

Sementara untuk mengecek aksesibilitas saya hanya menggunakan tool-tool online (salah satunya ATRC Accessibility Checker seperti yang pernah Mas Dani sebutkan). Saya sependapat bahwa memvalidasi aksesibilitas atas dasar tool-tool online saja itu belum cukup dan bisa menjadi mitos (seperti yang Mas Dani ungkapkan pada posting di daniiswara.net “Mitos Aksesibilitas Web-Blog”).

Bagaimanapun (menurut saya) sebuah tool adalah mesin yang terkadang bisa memiliki penilain berbeda dengan orang yang benar-benar difabel. Jadi pengukuran sebenarnya (dan ini saya kira cukup objektif) harus diserahkan pada pengguna (bukan mesin). Mungkin tidak ada salahnya (untuk meningkatkan sisi aksesibilitas web/blog), kita secara eksplisit memberitahukan/meminta kepada pembaca (difabel) untuk membuat catatan kepada si webmaster bagian-bagian mana yang tidak aksesibel (dari perspektif mereka sendiri).

Apabila suatu saat aksesibilitas telah menjadi hukum legal di negara kita, mungkin tidak akan ada lagi (blogger, desainer web, webmaster) yang berpendapat bahwa hal ini semata-mata persoalan teknis yang tidak memberikan nilai signifikan.

Anis Fahrunisa,
sedikit koreksi, terkait yang Mas Anis sampaikan di atas, untuk aksesibilitas dipakai istilah checker, bukan validator. Serupa seperti usability, lebih pas jika dites langsung pada manusianya. Terutama terkait grafis dan kesesuaian konten multimedia.

Walau ‘best practice’ selama ini juga dianggap cukup mewakili kebutuhan pengguna yang universal.

Penting ngga pentingnya, silakan dimulai masing-masing aja deh. :)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.